Penyebab Kemiskinan
Pertama, kemiskinan
kebudayaan; Biasanya disebabkan adanya kesalahan pada subyeknya. Misalny malas,
tidak percaya diri, gengsi, tak memiliki jiwa wirausaha yang kompatibel, tidak
mempunyai kemampuan dan keahlian, dan sebagainya.
Kedua, kemiskinan
structural; Ini biasanya terjadi disebabkan faktor eksternal yang
melatarbelakangi kemiskinan itu sendiri. Faktor eksternal itu biasanya
disebabkan kinerja dari pemerintah di antaranya : pemerintah yang tidak adil,
korupsi, paternalistik, birokrasi yang berbelit, dan sebagainya.
Selanjutnya ada beberapa
dimensi dari akar kemiskinan tersebut. Isbandi
Rukminto Adi, Phd menegaskan pula tentang akar kemiskinan berdasarkan level
permasalahan dan membaginya menjadi beberapa dimensi, di antaranya:
1. Dimensi
Mikro : mentalitas materialistic dan ingin serba cepat (instan).
2. Dimensi
Mezzo : melemahnya social trust (kepercayaan sosial) dalam suatu komunitas dan
organisasi, dan otomatis hal ini sangat berpengaruh terhadap si subyek itu
sendiri.
3. Dimensi
Makro : kesenjangan (ketidakadilan) pembangunan daerah yang minus (desa) dengan
daerah yang surplus (kota), strategi pembangunan yang kurang tepat (tidak
sesuai dengan kondisi sosio-demografis) masyarakat Indonesia.
4. Dimensi
Global : adanya ketidakseimbangan relasi antara Negara yang sudah berkembang
dengan Negara yang sedang berkembang.
Cara Mengatasi Kemiskinan
Pertama, meningkatkan pendidikan rakyat. Sebisa
mungkin pendidikan harus terjangkau oleh seluruh rakyat Indonesia. Banyaknya
sekolah yang rusak menunjukkan kurangnya pendidikan di Indonesia. Tentu bukan hanya
fisik, bisa jadi gurunya pun kekurangan gaji dan tidak mengajar lagi.
Kedua, pembagian tanah/lahan pertanian untuk petani.
Paling tidak separuh rakyat (sekitar 100 juta penduduk) Indonesia masih hidup
di bidang pertanian. Menurut Bank Dunia, mayoritas petani Indonesia memiliki
lahan kurang dari 0,4 hektar. Bahkan ada yang tidak punya tanah dan sekedar
jadi buruh tani. Kadang terjadi tawuran antar desa hingga jatuh korban jiwa
hanya karena memperebutkan lahan beberapa hektar!
Ketiga, tutup bisnis pangan kebutuhan utama rakyat
dari para pengusaha besar. Para petani/pekebun kecil sulit untuk mengekspor
produk mereka. Sebaliknya para pengusaha besar dengan mudah mengekspor produk
mereka (para pengusaha bisa menekan/melobi pemerintah) sehingga rakyat justru
bisa kekurangan makanan atau harus membayar tinggi sama dengan harga
Internasional. Ini sudah terbukti dengan melonjaknya harga minyak kelapa hingga
2 kali lipat lebih dalam jangka waktu kurang dari 6 bulan akibat kenaikan harga
Internasional. Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa.
Keempat, lakukan efisiensi di bidang pertanian. Perlu
dikaji apakah pertanian kita efisien atau tidak. Jika pestisida kimia mahal dan
berbahaya bagi kesehatan, pertimbangkan predator alami seperti burung hantu
untuk memakan tikus, dsb. Begitu pula jika pupuk kimia mahal dan berbahaya,
coba pupuk organik seperti pupuk hijau/kompos. Semakin murah biaya pestisida
dan pupuk, para petani akan semakin terbantu karena ongkos tani semakin rendah.
Kelima, data produk-produk yang masih kita impor.
Kemudian teliti produk mana yang bisa dikembangkan di dalam negeri sehingga
kita tidak tergantung dengan impor sekaligus membuka lapangan kerja. Sebagai
contoh jika mobil bisa kita produksi sendiri, maka itu akan sangat menghemat devisa dan membuka
lapangan kerja. Ada 1 juta mobil dan 6,2 juta sepeda motor terjual di Indonesia
dengan nilai lebih dari Rp 200 trilyun/tahun. Jika pemerintah menyisihkan 1%
saja dari APBN yang Rp 1.000 trilyun/tahun untuk membuat/mendukung BUMN yang
menciptakan kendaraan nasional, maka akan terbuka lapangan kerja dan
penghematan devisa milyaran dollar setiap tahunnya.
Keenam, stop eksploitasi/pengurasan kekayaan alam oleh
perusahaan asing. Kelola sendiri. Banyak kekayaan alam kita yang dikelola oleh
asing dengan alasan kita tidak mampu dan sedang transfer teknologi.
Kenyataannya dari tahun 1900 hingga saat ini ketika minyak hampir habis kita
masih ”transfer teknologi”.
Kesimpulan utama dari kajian ini adalah bahwa
percepatan penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan mengubah paradigma
pemberdayaan masyarakat dari yang bersifat top-down menjadi partisipatif,
dengan bertumpu pada kekuatan dan sumber-sumber daya lokal. Penanggulangan
kemiskinan yang tidak berbasis komunitas dan keluarga miskin itu sendiri akan
sulit berhasil. Proses otonomi daerah yang sedang berlangsung di
Indonesia saat ini, meskipun gamang pada awalnya, diyakini nanti akan berada
pada jalur yang pas. Yang diperlukan adalah konsistensi dari
pemerintah pusat untuk membimbing ke arah otonomi yang memberdayakan tersebut.
Maka disarankan agar program-program penanggulangan kemiskinan ke depan
mengarah pada penciptaan lingkungan lokal yang kondusif bagi keluarga miskin
bersama komunitasnya dalam menolong diri sendiri.
Namun yang selalu
menjadi masalah adalah kemauan kuat dan muncul dari keinginan kuat untuk
membantu rakyat miskin menjadi lebih sejahtera. Apa yang dilakukan belum
bersumber dari hati, dan masih sekedar sebuah upaya menggugurkan kewajiban.
Itulah sebabnya penduduk miskin yang menjadi sasaran program tetap miskin
cenderung tidak terangkat dari kemiskinan.
www.moklisfriendshipcommunity.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar